Jeruk Wangkang dan siem madu Jeruk Terbaik dari Ketapang Dan Karo

  • 4 min read

Tak salah memang. Citrus edulis itu manis rasanya. Selain itu, penampilannya juga menarik. Di balik sosok yang bulat hingga bulat gepeng berbalut kulit kuning tua terdapat daging berwarna jingga menyala. Bila buah dibelah melintang terlihat 10 sampai 13 septa yang dihiasi 1 sampai 2 biji. Hm…menyegarkan. Dengan kelebihan itu pantas jika kepopuleran siem madu melanglangbuana hingga keluar Karo, bahkan Sumatera. Di pasar-pasar di Jakarta hingga ke pelosok-pelosok daerah ia dikenal dengan nama umum jeruk medan. Padahal dari Tanah Batak ada jenis-jenis lain yang tak kalah menarik. Sebut saja jeruk pantaibuaya dari Kabupaten Langkat, keprok sipirok asal Tapanuli Selatan, dan keprok maga dari Mandailing Natal. Keprok brastepu yang kini mulai sulit ditemukan juga salah satu “pesaing”.

Lahan yang Produktif

Di Kabupaten Tanahkaro, penanaman siem madu dengan mudah ditemukan di kebun-kebun penduduk. Jeruk ditanam dengan jarak 4m x 4m. Dengan begitu saat tanaman dewasa berumur sekitar 8 tahun tajuknya yang berbentuk payung tak bakal saling bersinggungan. Dengan bibit asal okulasi, tanaman mulai berbuah pada umur 2,5 sampai 3 tahun. Produksinya relatif tinggi. Pada umur 3 tahun mencapai 8 sampai 10 kg per pohon. Seiring bertambahnya umur tanaman, produksi pun meningkat. Pada umur produktif 6 sampai 9 tahun, dituai 750 sampai 900 buah setara 90 sampai 200 kg per pohon, tergantung perawatan. Pantas saat musim raya tiba pada September Oktober, tajuk-tajuknya seperti keberatan digelayuti buah. Di luar panen raya, setiap saat buah dalam jumlah terbatas terus bermunculan. Buah relatif tahan simpan. Asal diletakkan di dalam wadah berlapis potongan kertas, kualitas tetap terjaga hingga 8 sampai 10 hari setelah panen. Kala musim panen tiba, manisnya madu pun kian terasa oleh para pekebun. Sebut saja Santarias Ginting. Pekebun di Ajijahe, Kabanjahe, itu menangguk pendapatan jutaan rupiah per bulan dari 400 pohon berumur 5 sampai 6 tahun. Belum lagi pendapatan dari produksi bibit. Maklum Ginting salah satu penangkar yang ditunjuk Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih Provinsi Sumatera Utara. Dengan bibit bersertifikat kualitas hasil siem madu pun terjaga. Manisnya madu yang dirasakan pekebun di Tanahkaro membuat banyak orang terpikat. Dari Tanahkaro anggota famili Rutaceae itu menyebar ke Dairi, Simalungun, Tapanuli Utara, hingga Tapanuli Selatan. Bukan hanya Engelina yang kepincut jeruk wangkang. Belasan pengunjung lain pun tampak antre mencicipi. Tak heran, puluhan buah yang dipamerkan sejak pagi hari langsung ludes menjelang tengah hari. “Yang tersisa tinggal stok di kardus,” kata Budi Gunawan dari BPSB. Beruntung lidah Trubus sempat mencecap manisnya jeruk wangkang karena telah memesan sebelumnya. Benar kata Engelina, rasanya enak sehingga sulit dilupakan. Jeruk wangkang termasuk keprok. Cirinya kulit buah bertekstur agak kasar dan tebal. Lantaran itu kerabat kawista itu mudah dikupas. Saat dibelah tampak septa-septa buah berwarna jingga terbalut jaring tipis. Warna kulit buah hijau saat masih muda dan berubah oranye muda bila telah masak. Bentuk buah bulat, berkerah pendek, dan agak cekung. Bobot rata-rata 160 sampai 250 gram per buah, atau sekilo berisi 4 sampai 6 buah.

Terkendala Lahan Terbatas

Jeruk wangkang memang tak sepopuler siem pontianak yang banyak dikembangkan di tanah Borneo. Pasalnya, saat ini ia hanya ditemui di Ketapang. Itu kabupaten di bagian barat Pulau Kalimantan yang berbatasan langsung dengan Selat Karimata. Penyebaran jeruk wangkang pun terbatas di dataran rendah. “Ditanam di daerah pantai. Luasnya paling 3 sampai 4 ha,” kata Budi. Lantaran pasokan terbatas harga jeruk wangkang melambung tinggi. Di pasar lokal Ketapang Rp6.000 sampai Rp8.000 per kg. Padahal siem pontianak anjlok hingga Rp2.300 sampai Rp3.000 per kg. Walau mahal, ia tetap diburu pengepul di Kalimantan Barat. “Pekebun tak sempat lagi menjual ke pasar "

Julukan berasal dari nama perahu

Tak ada yang tahu pasti kenapa ia dinamakan jeruk wangkang. Menurut Untung, kemungkinan kata itu diambil dari nama sebuah kampung asal buah itu ditemukan. Yang lain menduga, wangkang berarti perahu besar Cina. Konon di masa lampau, ribuan buah jeruk diangkut diatas wangkang dari Cina ke Kalimantan. Kebetulan jeruk-jeruk itu berukuran besar sehingga disebut jeruk wangkang. Diduga biji dari buah itulah yang menjadi cikal-bakal jeruk wangkang di Ketapang. Dari hasil penelusuran Trubus diketahui, pada 1951 jeruk wangkang mulai ditanam di Desa Sei Besar, Kecamatan Matan Hilir Selatan. Pada masa itu penanaman terus bertambah lantaran pekebun menyukai sifat jeruk wangkang yang berbuah sepanjang tahun. Buah pun tahan simpan karena berkulit tebal. Sayang pada era 90-an bencana banjir kerap melanda area penanaman jeruk wangkang. Serangan jamur busuk pangkal batang Phytophthora palmivora dan jamur putih Almilaria sp turut memorak-porandakan lahan pekebun. Sejak itulah nama jeruk wangkang kian asing ditelinga penggemar buah. Beruntung Dinas Pertanian Ketapang dan BPSB Kalimantan Barat tanggap atas kelangkaan itu. Hasil kerja keras mereka mengegolkan jeruk wangkang sebagai varietas unggul nasional pada 2003. Bersamaan dengan itu sebanyak 2.000 batang japanise citrun dijadikan batang bawah untuk diokulasi dengan jeruk wangkang. Bibit itu disebar ke berbagai kecamatan di Kabupaten Ketapang. Gayung pun bersambut, pekebun menyambut jeruk wangkang sebagai harapan baru di tengah jatuhnya harga siem pontianak. Pantas saja, menurut Untung, pada 2005 sedang disiapkan 1.000 bibit okulasi yang dipesan pekebun. Itu kabar baik buat mania buah di Nusantara. Kelak kemanisan jeruk wangkang tak hanya dinikmati Engelina Widjaya.