Kemenangan (Nyaris) Sempurna Duku Rasuan

  • 4 min read

Serupa tapi tak sama, kemenangan duku rasuan dalam Lomba Buah Unggul Nasional 2003 nyaris sempurna. Para juri sepakat Lancium domesticum itu layak sebagai yang terbaik menyisihkan 8 rivalnya. Kulit tipis berwarna cokelat muda menarik. Daging buah bening, manis, dan cukup berair. “Ciri itulah yang disukai konsumen,” kata Rudi Sendjaja, juri yang bergelut dalam pemasaran buah-buahan selama 20 tahun.

Duku Terkenal

Nama rasuan disematkan lantaran duku itu berasal dari Desa Rasuan, Kecamatan Madang Suku II, Palembang. Wilayah berjarak 150 km dari Baturaja sampai ibukota Ogan Komering Ulu (OKU) itu sejak dulu dikenal sebagai penghasil duku enak. Jangan heran, bila nama rasuan kerap dicatut pedagang untuk menyebut duku dari daerah lain. Menurut Zainal Arifin, staf produksi hortikultura Dinas Pertanian OKU, di sana tidak ada kebun intensif. Duku tumbuh menyebar di antara durian, sawo, kemang, pisang, dan kedondong. Pemandangan itu pula yang terlihat di kebun milik Hermain. Duku pemenang LBUN 2003 dipetik dari pohon yang tumbuh istimewa. Pohon setinggi 20 m itu memiliki tajuk lebar dan mengerucut sehingga sinar matahari mampu menembus tanaman. Umurnya diperkirakan 30 tahun. Lantaran terawat, hingga kini tanaman itu belum pernah terserang penyakit. Produktivitasnya 800 kg/musim. Hasil panen selalu habis di kebun. Konsumen biasanya datang mencicipi langsung di lokasi, lalu sebagian buah dibawa pulang untuk oleh-oleh. “Rasa terjamin karena dipetik matang pohon,” katanya. Lantaran tumbuh bagus, dinas pertanian menjadikannya sebagai pohon induk sejak 2003. Sebanyak 15.000 bibit grafting sudah disebar ke pekebun sekitar. Permintaan bibit juga datang dari beberapa kabupaten lain, tapi hingga kini belum bisa dilayani.

Tertata rapi

Pemenang ke-2 diraih duku sumber. Peserta nomor 80 itu memiliki kulit kuning menarik. Sayang, warna daging buah putih susu. “Daging buah seperti itu biasanya masam di lidah,” ujar Rudi Sendjaja. Duku sumber tumbuh di kebun warisan orang tua milik Sutomo, pekebun di Desa Tenggeles, Kecamatan Mejobo, Kabupaten Kudus. Kebun yang berada di belakang rumah itu berisi 16 pohon dengan jarak tanam 6 m x 7 m. Menurut sejarahnya tanaman asal biji itu diambil dari daerah Sumber sentra duku di Kudus berjarak 1 km dari Mejobo. Saat ini diperkirakan umurnya 42 tahun. Sutomo merawat kebun dengan intensif. “Kuncinya pada ketersediaan air,” ujar pria 57 tahun itu saat dijumpai Trubus di kebun. Makanya, ia membuat dua sumur untuk menjamin pasokan air. Ketika kemarau, penyiraman dilakukan 3 kali seminggu hingga tanah jenuh. Kalau tanaman mulai berbunga, frekuensi penyiraman menjadi setiap hari agar kulit buah tak pecah. Ayah 2 anak itu membenamkan 2 kg KNO3 dan pupuk kandang setebal 2 cm merata di sekeliling tanaman. Dengan perawatan itu pohon berbuah serentak. Produktivitasnya 1,5 sampai 2 kuintal/ pohon. Soal kualitas, menurut Sutomo ukuran dan rasa buah relatif seragam. Karena istimewa, harga petik mencapai Rp12.000/kg yang diambil sendiri pedagang ke kebun.

Duku Istimewa

Sang pemenang ke-3, duku kepayang, berkulit cokelat muda kemerahan. Saat dikupas, daging buah agak putih dengan rasa perpaduan manis masam. Sesuai dengan namanya, duku itu ditanam di Desa Kepayang, Kecamatan Peninjauan sampai 10 km dari Baturaja. Wilayah itu juga dikenal sebagai penghasil duku manis di Bumi Sriwijaya. Salah satu pohon tumbuh di antara kemang, jeruk, dan durian di kebun seluas 3 ha milik Zanita, pekebun di Kepayang. Pertumbuhan anggota keluarga Meliaceae itu termasuk istimewa bila dibanding yang lain. Tajuk lebar menjuntai sampai menyentuh tanah. Pria 60 tahun itu menduga pertumbuhan tanaman prima sejak pohon kemang yang berada 3 m di samping duku ditebang. “Ada pelapukan kayu sehingga tanah gembur dan akar tumbuh bagus,” kata ayah 7 anak itu. Keistimewaan lain, pohon tidak pernah terserang hama atau penyakit. Tak heran bila buahnya lebat setiap kali panen. Produksi pada 1996 mencapai 1 ton dan langsung ludes. “Tidak pernah buah layu di tangkai apalagi rontok,” ujar pekebun yang tinggal di Lubuk Batang Baru itu. Panen umumnya pada Desember sampai Maret. Untuk menjaga kualitas, “Panen tidak boleh sembarangan, buah dicium dulu, lalu kulitnya harus kuning merona kemerahan. Setelah itu baru dikupas, lihat daging, kemudian baru cicipi. Ngga salah, buah dipastikan masak,” katanya. Karena itulah ia selalu mendapat harga lebih tinggi dibanding harga pasar. Misal, harga pasar Rp3.000/kg, yang diterima Rp3.500 sampai Rp4.000/kg.