Ketika Musim Buah Tiba

  • 4 min read

Empat kata di awal itu bak mantra pemikat dari penyihir sakti. Begitu kata-kata itu diteriakkan sejenak rutinitas keredaksian ditinggalkan. Bukan tanpa alasan “para tamu kehormatan” itu mendapatkan perhatian penuh. Dari kantor redaksi, buah mesti segera ditimbang dan difoto. Lalu didistribusikan kepada para juri yang berdomisili di Bogor dan Jakarta untuk dinilai. Agar tak terjadi perubahan kualitas, ia tak boleh lama-lama parkir. Buah yang datang segera didata. Sebuah “studio” mini pun disiapkan. Buah dipilah, mencari sosok terbaik untuk didokumentasikan. Beragam posisi diambil, tapi harus seragam untuk setiap komoditas. Yang pasti ada foto buah utuh dan terbelah. Buah dengan dan tanpa nama serta nomor kepesertaan juga dibuat supaya mata tak bosan memandang. Setelah urusan jepret-menjepret usai,buah langsung dikemas rapi dua pengemudi Mitra usaha tani siap mengantarkan kepada para juri meski malam menjelang, hujan mengguyur, atau badan letih usai menemani rekan-rekan redaksi meliput. Itu semua demi memberikan yang terbaik bagi para peserta LBUN.

Dijagokan

[caption id=“attachment_7949” align=“alignleft” width=“220”]durian Papaken Papaken jaranang bikin penasaran[/caption] Celetukan-celetukan ringan kerap mengiringi proses itu. “Wah, ini mangga besar amat,” seru rekan-rekan redaksi waktu lazis djiddan datang. Dibanding varietas lain, mangga koleksi Dr H Fuadi Yatim di Cipinang, Jakarta Timur, itu memang berukuran jumbo. Sebuah minimal berbobot 600 g. Bentuknya menarik dengan warna hijau bersemburat kuning di bagian pangkal. Begitu dibelah terlihat daging yang jingga terang. Hm…sungguh mengundang selera. Tak heran seorang rekan di bagian artistik menjagokan lazis dziddan sejak pertama kali melihat. Sebuah ramalan yang berbuah kenyataan. Mangifera indica yang memiliki “darah” mangga cirebon itu didapuk jadi yang terbaik di kelasnya. Lain lagi waktu papaken baji dan papaken jaranang asal Barito Timur datang. Suara-suara bertanya, “Durian apa nih, kok dagingnya begitu?, kerap terdengar. Maklum jenis pertama warna daging oranye terang. Papaken jaranang lebih bulat dengan daging merah darah— makanya ia disebut si bibir merah. Sayang kedua lai itu tak mendapatkan satu nomor pun. Meski warna menarik, kedua Durio kutejensis itu berdaging tipis dan kalah enak dibanding peserta dari spesies D. zibethinus. Selama proses penilaian, panitia terpaksa mendiskualifikasi beberapa buah, seperti belimbing dan jambu air. Mereka datang dalam kondisi rusak sehingga tidak memungkinkan untuk dinilai. Itu sangat disayangkan karena komoditas yang dikirim sebenarnya unggulan setempat. Pengemasan kurang tepat dan lamanya waktu perjalanan menjadi musabab.

Beragam daerah

Penyelenggaraan LBUN ini bukan yang pertama kali. Beberapa tahun silam Mitra usaha tani rutin melaksanakan. Karena berbagai kendala, lomba pada 1993 menjadi penyelenggaraan terakhir sebelum masa reses panjang. Ketika itu citra koleksi Dr Mohammad Reza Tirtawinata, MS, di Bogor menjadi salah satu pemenang. Lomba kali ini diikuti 88 peserta dari 8 kategori. Kelas mangga diikuti paling banyak peserta (18), diikuti durian (16), dan jambu air (14). Kategori salak terpaksa ditiadakan karena hanya dikuti 3 peserta. Padahal, minimal kepesertaan untuk setiap kelas 4 buah. Asal daerah peserta sangat beragam. Dari Sumatera antara lain diwakili duku rasuan dan kepayang dari Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan, serta mangga bengkulu. Sementara Pulau Borneo mengirimkan 2 lai dari Barito Timur dan jeruk batola dari Banjarmasin. Dari wilayah timur Indonesia muncul keprok soe dan hickson yang menjadi juara kategori jeruk. Peserta dari Pulau Jawa tersebar merata dari ujung barat ke timur. Pada kategori durian, Pandeglang mengirimkan peserta terbanyak, yaitu 6 dari 16 peserta. Daerah itu memang salah satu sentra durian unggul. Secara perorangan, Mubin Usman dari Depok, menjadi peserta paling aktif. Ia ikut dalam kategori belimbing, durian, manggis, dan mangga. Penyelenggaraan lomba sengaja berdurasi cukup panjang selama setahun. Itu untuk memberikan kesempatan kepada pekebun, kolektor, dan penangkar di berbagai daerah berpartisipasi. Maklum setiap komoditas berlainan masa panennya, pun komoditas sama di daerah berbeda. Maka begitu musim panen tiba, panen buah pula di kantor redaksi Mitra usaha tani. Kalau beruntung ketika kiriman buah berlebih rekan-rekan ikut mencicipi keistimewaannya.

Penutupan acara

Begitu penanggalan menunjukkan 31 Desember 2003, pintu kepesertaan untuk LBUN 2003 ditutup. Kini giliran para juri yang terdiri dari Prof Dr Sri Setyati Harjadi, guru besar Institut Pertanian Bogor; Drs Hendro Soenarjono, pakar hortikultura; Rudi Sendjaja, praktisi pemasaran buah-buahan; dan Mitra usaha tani berembuk untuk menentukan yang terbaik. Tepat pada 8 Januari 2004, pemenang masing-masing kategori diketahui, Begitu para pemenang diketahui, kesibukan pun melanda ruang artistik Mitra usaha tani. Foto para jawara dipoles agar layak dipamerkan dalam acara Pameran Buah Nasional dan Seminar Berbisnis Hortikultura ala Thailand dan Malaysia yang diselenggarakan di Jakarta Hilton International Hotel, Jakarta, pada 29 Januari 2004. Di ajang sama dilaksanakan prosesi pengumuman dan penyerahan penghargaan kepada para pemenang. Usai acara itu, bukan berarti selesai pula hiruk-pikuk di kantor redaksi. Akhir LBUN 2003, berarti awal penyelenggaraan LBUN. Maka buat Anda yang tahun silam belum sempat mengikuti ajang itu, kini kesempatan terbuka luas. Siapa tahu berikutnya Anda yang beruntung.