Rambutan Kuning: Sijangkung Kebanggaan Malaysia

  • 3 min read

Ada pemandangan menarik ketika Kami singgah di tempat peristirahatan jalan tol di wilayah Gantang, Malaysia. Di antara onggokan buah-buahan di jongko-jongko kaki lima terdapat rambutan warna kuning. Lazimnya rambutan berwarna merah merona. Pantas kalau 2 teman yang turut menemani peliputan mengira Rambutan Kuning itu buah rambutan yang belum matang penuh. Buah rambutan warna kuning serupa Kami lihat saat berkunjung ke kebun Mulyono Sutedjo di Desa Sijangkung, Singkawang, Kalimantan Barat. Pohon Rambutan Kuning berpangkal batang sebesar paha orang dewasa tengah memamerkan buah berambut kuning itu. Meski berbuah tak lebat, hanya beberapa dompol, tapi warnanya yang aktraktif menyita perhatian. “Tahun kemarin juga berbuah,” ungkap Mulyono, pemilik kebun. [caption id=“attachment_13878” align=“aligncenter” width=“1511”]Buah rambutan si kuning Sepintas mirip rapiah atau aceh kuning[/caption] Menurut pria yang hobi berkebun itu, rambutan kuning tergolong genjah. Pada umur 3,5 tahun ditanam dengan bibit okulasi mulai belajar berbuah. Kini menginjak umur 4,5 tahun, produksinya sekitar 10 sampai 20 kg. Mulyono yakin pada umur di atas 8 sampai 10 tahun buah dituai mencapai 100 kg, seperti rambutan firba yang asli Kalimantan Barat. Sebab batangnya kokoh dengan pertajukan melebar ke samping.

Daging buah Bertekstur Tebal dan renyah

Memiliki rambutan emas demikian Mulyono menyebut rambutan yang dibawa dari Thailand menjadi kebanggaan lantaran buahnya betul-betul istimewa. “Selama ini belum pernah saya temukan rambutan seenak ini,” tuturnya, sambil sibuk memanen beberapa dompol yang tersisa. Kami sempat mencicipi 3 buah. Rasanya memang luar biasa: manis legit, agak kering, dan renyah. Bentuk buah bulat berukuran sama seperti firba. Namun, dagingnya yang putih kekuningan sangat tebal, hampir 1 cm. Bijinya kecil, mudah lepas dari daging sehingga tak khawatir kulit lembaga ikut termakan. Tekstur daging agak kasar walau tidak menyebabkan tersisa di sela-sela gigi. Sayangnya daya tahan si emas kurang baik. Dua hari setelah dipetik rambut menghitam meski daging masih layak makan. Apalagi jika penanganan pascapanen salah, tidak sampai 24 jam Rambutan Kuning akan berubah hitam. Penampilannya menurun drastis, dari sangat menarik langsung menjadi buruk rupa.

Perkembangan buah Relatif cepat

Di Singkawang yang panas dengan 10 m dpi Rambutan Kuning tumbuh secara optimal. Pertumbuhan vegetatif maupun generatif tidak ada masalah. Hanya saja warna kulit agak pucat akibat sengatan matahari yang terlalu terik. Di Malaysia seperti yang Kami temukan, kulit Nephelium lappaceum itu kuning cerah, kontras dengan bulu-bulunya yang kehijauan. Penanaman Rambutan Kuning tersebar di perbukitan Pulau Penang dan Ipoh yang berketinggian sekitar 400 m dpi. Berdasarkan pengamatan Mulyono semasa pentil layaknya rambutan lain, warna kulit si emas hijau muda. Warna kuning muncul ketika buah mulai matang. Dimulai dari kuning semburat hijau di ujung buah, lalu ke tengah sebelum akhirnya merata ke seluruh permukaan kulit. “Setelah matang si emas tetap kuning. Berbeda dengan jenis rapiah atau aceh kuning yang kuning kemerahan saat betul-betul matang,” tutur mantan pengusaha kayu itu. Saat warna kuning merata itulah waktu terbaik untuk pemanenan. Sebab kala masih semburat hijau kurang manis. Begitu juga jika kelewat matang, daging buah sedikit lembek dan berair. Mulyono menghitung dari sejak bunga mekar hingga siap panen hanya diperlukan 100 hari. Perkembangan buah memang cepat, terutama setelah terbentuk daging buah, tinggal menunggu kurang lebih 1 bulan. Panen Rambutan Kuning biasanya berlangsung Agustus. Buah yang dihasilkan beberapa terserang penggerek karena tidak dilakukan penyemprotan pestisida. “Saya hanya menyiram dan memupuk secara teratur,” kata pekebun lengkeng itu. Sebanyak 1 kg NPK dibenamkan setiap 4 bulan bersamaan dengan 25 sampai 30 kg bokashi. Sementara penyiraman 2 sampai 3 hari sekali tergantung musim. Toh tanaman tumbuh subur dan kualitas buah cukup bagus. Tak heran tajuk-tajuk tanaman semata wayang itu kini berbalut sabut kelapa untuk diperbanyak dengan cangkokan. (Yudianto)