Ranah Minang Demam sayur organik

  • 4 min read

Itulah pemandangan yang lazim ditemui di Kios Sayur Organik, Aie Angek, Kecamatan X Koto, Tanahdatar. Di sana terdapat 13 kios yang menjajakan beragam produk sehat dan ramah lingkungan. Bukan hanya sayuran, buah -buahan seperti jeruk, pisang, rambutan, markisa, dan pepaya juga tersedia. Produk olahan seperti sirup markisa pun ada. Tak heran pelancong yang hendak berkunjung ke Bukittinggi kerap mampir ke tempat yang berada di 2 kaki gunung, Merapi dan Singgalang itu. Pun pemudik yang kembali ke Jawa membawa sayuran organik sebagai buah tangan. Menurut Mak Enan, salah satu pemilik kios, pelancong yang datang membludak pada hari libur dan akhir pekan. Ketika itulah para pemilik kios kebanjiran untung. “Pendapatan kotor per hari Rp500-ribu sampai Rp900-ribu,” katanya. Hari biasa hanya Rp200-ribu sampai Rp300-ribu.

Produk Semiorganik

Walau di tempat itu terpampang plang besar bertulis Kios Sayur Organik, jangan beranggapan barang yang dijual mumi organik, bebas pupuk kimia dan pestisida. Lebih tepat disebut produk semiorganik dan alami. Pasalnya, budidaya sayur organik yang dilakukan 17 pekebun di kaki Gunung Merapi itu setengah organik. Sejak 2002 mereka mengurangi 50% dosis pupuk kimia yang lazim digunakan dan diganti pupuk kandang. Pestisida dikurangi dengan menekan populasi hama menggunakan repellent plant. Yakni, menanam beberapa jenis tanaman berbeda secara berdekatan untuk menekan dan mencegah hama. Misalnya, daun bawang yang beraroma tajam ditanam dekat tomat; kemangi dengan cabai. Tagetes juga tumbuh di sekitar lahan. “Tapi kalau serangan hama meningkat, kami tetap pakai pestisida,” kata M Ranin Sutan Malenggang, pekebun yang kebetulan sedang memasok sayuran. Menurut Mak Enan, 17 pekebun setengah organik itu memiliki ikatan emosional tinggi, mirip kelompok tani. Mereka mengelola lahan seluas 6 ha. Gerai yang disebut Kios Sayur Organik itu pada dasarnya milik mereka. “Kami ini pedagang juga pekebun,” katanya. Hanya saja, yang menjaga kios biasanya sanak dan kerabat. Lantaran luasan kebun terbatas, kios itu juga menerima pasokan sayur organik dan buah dari pekebun di sekitar Solok, Alahanpanjang, Padangpanjang, dan Kotabaru. Label organik membuat harga di atas rata-rata. Saat mitrausahatani belanja misalnya. Sekilo cabai keriting Rp 11-ribu sampai Rp 12-ribu, di pasar biasa hanya Rp10-ribu. Wortel dipatok Rp4.000 sampai Rp4.500, di pasaran hanya Rp3.000. Pun kentang cingkariang kebanggaan masyarakat Sumatera Barat, Rp5.500, di tempat lain Rp4.500.

Harga sama

Itu kisah untung pekebun semiorganik yang berkelompok. Nun di Agam, kabupaten tetangga mereka, ada pekebun organik yang mengeluh soal harga. Pasalnya, hasil panen dijual ke pasar setempat lantaran tak ada gerai khusus. “Sayuran organik harganya sama dengan yang biasa,” kata Fauzi Sutan Sari Alam, pekebun di Nagari Balingka, Kecamatan IV Koto, Kabupaten Agam. Padahal, soal kualitas Fauzi maju selangkah dibanding pemasok Kios Sayur Organik. Sejak 3 tahun silam lahannya terbebas dari pestisida dan pupuk kimia. Namun, Fauzi tetap bertahan. Ia tak mau beralih kembali ke pertanian konvensional. “Pakai pupuk kimia lahan menjadi rusak,” katanya. Itu ia rasakan lantaran dosis pupuk yang diberikan semakin hari harus ditambah untuk mencapai produksi yang sama. Fauzi pun enggan menggunakan pestisida kimia karena kerap sesak napas selepas menyemprot. Di lahannya seluas 1 ha yang terpisah-pisah, Fauzi menanam buncis, bawang daun, bawang merah, cabai, tomat, padi, dan kol bunga. Rotasi penanaman dan tumpangsari dimaksudkan untuk menekan serangan hama dan penyakit. Ia juga menggunakan pengendali hayati Trichoderma sp dan Pseudomonas sp. Pestisida nabati berbahan pitonia, sereh, dan pinang pun kerap dimanfaatkan. Hara tanah sepenuhnya dipasok pupuk kandang. Saat Mitrausahatani berkunjung ke kediamannya, tampak deretan kandang ayam dan sapi di belakang rumah. “Pupuk saya ambil dari situ, tak usah beli,” katanya sembari menunjuk gundukan feses ternak itu. Walau harga jual sama dengan produk nonorganik, Fauzi tak rugi. Pasalnya, biaya produksi untuk membeli pupuk kimia berkurang. “Hemat 20 sampai 30%,” katanya. Penjualan pun diserahkan pada istrinya yang membuka kios di Pasar Balingka. Ia bisa menikmati harga tinggi karena langsung dijual ke konsumen. Terobosan dan keyakinan itulah yang membuat Fauzi dikenal sebagai pelopor pekebun organik di Nagari Balingka.

Terbatas

Pekebun-pekebun organik di Sumatera Barat tersebar secara sporadis. Menurut Firman, dari Dinas Pertanian, Kehutanan, dan Perkebunan (Dipertahutbun), Kecamatan IV Koto, pekebun organik di tempatnya belum berkelompok. Umumnya hanya ada 1 pekebun di nagari (sebutan desa di Sumatera Barat, red). Luasnya pun terbatas, sekitar 1 ha. Merekalah yang mempelopori pertanian organik di Agam. Hal serupa Mitrausahatani temui di Kecamatan Sungaipua, Kabupaten Agam. Ada sekitar 5 ha areal pertanaman organik yang tersebar di 5 nagari, yaitu: Sungaipua, Batupulano, Sariak, Badangele, dan Padanglaweh. Menurut Afrizal, kepala cabang Dipertahutbun, Kecamatan Sungaipua, mereka baru menerapkan 25% organik. Pekebun hanya mengurangi frekuensi penyemprotan dari seminggu 3 kali menjadi 1, serta mengganti 50% pupuk kimia dengan pupuk kandang sejak setahun silam. Namun, Afrizal tetap mengklaim mereka pekebun sayur organik. Baginya, pertanian organik sebuah proses. Baru 2 sampai 3 tahun ke depan pekebun dapat melepaskan dari cengkeraman pestisida dan pupuk kimia. Itu kabar baik buat kita semua, pekebun sedikit demi sedikit menyadari pentingnya budidaya sayur organik. Kelak kios-kios organik bakal bertebaran di Sumatera Barat. (Destika Cahyana)