Sang Dosen Penangkar Burung kicauan

  • 4 min read

Di rumahnya tak ada tanda-tanda Djumadi sebagai penangkar cucak rawa, jalak suren, dan murai batu. Ketiga burung itu memang digantung dalam sangkar. Itu mengesankan bungsu 6 bersaudara hanya sekadar hobiis. Di sisi kanan rumahnya memang ada 4 kandang setinggi 2 m. Namun, hanya dimanfaatkan sebagai ruang pajang. Aktivitas Djumadi di sana benar-benar jauh dari kesan menangkarkan. Harap mafhum, alumnus Biologi Kedokteran Universitas Indonesia itu tampil bersahaja. Di rumahnya ia memposisikan diri sebagai hobiis burung berkicau. Sedangkan usaha penangkaran dikelola oleh 2 karyawan. Dua pekan sekali, ayah 2 anak itu mengontrol kondisi penangkaran yang berjarak puluhan kilometer itu. Dengan begitu siapa yang tahu bila ia penangkar sukses?

Dibeli inti

Saat ini dari 3 jenis burung berkicau yang ditangkarkan, Djumadi memasarkan 20 pasang jalak suren, 10 pasang cucak rawa, dan 12 pasang murai batu. Itu hasil pembiakkan dari 30 pasang jalak suren, 10 pasang cucak rawa, dan 12 pasang murai batu. Rata-rata piyik berumur 3 pekan sudah dijual. Harga jual per pasang saat ini Rp 1-juta untuk jalak suren dan murai batu serta Rp2,5-juta untuk cucak rawa. Ia tak harus pening memikirkan penjualan. Sebab, Anda Priyono yang mengembangkan kemitraan selalu menampung seluruh produksi. Malahan, produksi itu masih kurang ketimbang permintaan Anda yang mencapai 2 kali lipat. Itulah sebabnya ia berupaya menambah jumlah indukan. Pertengahan Agustus , umpamanya, Djumadi mencemplungkan Rp60-juta untuk menambah 12 indukan jalak suren.

Ayam dan puyuh

[caption id=“attachment_10186” align=“aligncenter” width=“641”] Tambahan pendapatanya dari penangkaran burung[/caption] Usaha penangkaran burung baru dijalani 3 tahun. Sebelumnya kelahiran Surakarta 28 Juni 1970 itu menggeluti budidaya ayam pedaging pada 1998. Jumlahnya mencapai 5.000 ekor. Sayangnya, usaha itu berumur singkat lantaran harga jual fluktuatif. Sedangkan harga pakan cenderung melambung. Apa boleh buat pada 1999 pembesaran ayam itu ditutup. Ia melirik peluang beternak puyuh. Sekitar 10.000 ekor diternakkan. Namun, dewi fortuna seperti menjauh. Harga jual telur unggas mungil itu tak sebanding dengan harga pakan. Lagi-lagi layar bisnis Djumadi gagal mengembang sehingga bahtera mesti kembali berlabuh. Ia mengakhiri beternak puyuh pada 2001. Meski 2 kali berturut-turut gagal, ia tak patah semangat. Tiga tahun silam ia mengayun langkah dengan menangkarkan jalak suren. Sturnus contra dipilih lantaran populasi di alam mulai menyusut, mudah ditangkarkan, dan bernilai ekonomis tinggi. Kesimpulan itu diambil setelah berkali-kali ia ngobrol dengan para penangkar senior di Surakarta. Seorang penangkar yang dihubungi, misalnya, mengatakan kewalahan memenuhi permintaan jalak suren. Djumadi lalu membeli 4 pasang jalak suren melalui Anda Priyono, penangkar di Nusukan, Solo. Yang lebih menarik, Anda bersedia menampung seluruh produksinya kelak.

Jalak suren

Tanpa pengalaman sebelumnya, Djumadi memang agak repot menangkarkan burung. Toh lagi-lagi semangatnya membaja. Ia belajar ke penangkar lain dan membaca buku-buku tentang penangkaran. Itu saja belum cukup. Buktinya, 2 pasang indukan berantem sehingga telat bertelur. Mereka kemudian ditukar dengan indukan baru. Berturut-turut 4 pasang induk menghasilkan masing-masing 3 ekor piyik. Semua piyik dijual kepada Anda saat berumur 3—4 pekan. Harganya Rp 1-juta sepasang. Harga itu sangat tinggi mengingat biaya produksi penangkaran relatif rendah. Meski demikian, ia belum dapat mencecap manisnya menangkarkan burung. Musababnya, hasil penjualan piyik ditukarkan dengan indukan siap bertelur. Hampir setiap 21 hari—14 hari mengeram, 5—7 hari setelah menetas induk bertelur lagi—ia selalu menambah indukan baru. Setahun berselang ia mencoba menangkarkan cucak rawa dan murai batu. Alasannya pun sama karena populasi mereka menyusut. Penetasan pertama kedua jenis burung itu ditukar dengan indukan siap bertelur. Cara itu ditempuh untuk meningkatkan produksi. Baru pada tahun kedua ia menikmati jerih payahnya, antara lain dibelanjakan untuk sebidang tanah.

Sangkar kecil

[caption id=“attachment_10187” align=“aligncenter” width=“594”] Jalak suren salah satu andalan DJumadi meraih laba[/caption] Walau pemasaran bukan masalah, tetapi sejak awal menangkarkan Djumadi rutin mengikuti kontes. Selain mengukur mutu hasil tangkaran, juga memperluas jaringan dengan sesama kicau mania. Beberapa burung tangkarannya berkualitas bagus. Bukti menjadi kampiun di berbagai kontes. Selain ke-3 jenis burung itu, Djumadi tertarik menangkarkan cucak hijau, anis kembang, dan tledekan. Rencana lain menangkarkan burung di sangkar mini berukuran 40 cm x 60 cm. Dengan demikian efisiensi tempat dapat dimaksimalkan. Itu bukan impian kosong, tetapi sudah dibuktikan keberhasilannya setahun silam. Lima kali anis kembang berproduksi di sangkar yang digantung di langit-langit rumahnya. Kuncinya adalah mengetahui karakter burung. Menurut Djumadi teknik serupa dapat diterapkan pada burung berkicau lain, kecuali cucak rawa. Sembari menangkarkan Djumadi juga bereksperimen. Itulah langgam kehidupan pria murah senyum. Mengajar di sebuah perguruan tinggi hingga pukul 14.00, lalu mendengarkan kicauan. Pada akhir bulan gemerincing rupiah mengisi pundi-pundi sang dosen. Ia seolah berjalan lurus, tanpa liku-liku dan jatuh bangun dalam menggapai impian. Menjadi pendidik tak harus berwajah muram seperti dilukiskan oleh Iwan Fals dalam senandung Umar Bakri. …bersepeda butut, lalu ngebut…Sebuah mobil siap mengantarkan Djumadi bila hendak bepergian.