Serama

  • 6 min read

Senin pukul 13.30 lebih awal 1 jam dibanding waktu Jakarta di akhir Juni. Dengan pesawat MAL berkapasitas 250 orang, kami menjejakkan kaki di bumi Mahatir Muhammad. Albert yang menunggu sejak pukul 11 menyapa ramah. Tak ada tanda-tanda kekesalan di raut mukanya, meski telah kami “kerjai” sebelumnya kami menginformasikan kedatangan pukul 12.00. Peternak di Petaling Jaya, Kualalumpur, itu ingin menunjukkan perkembangan serama di Malaysia. “Saya mengambil cuti selama seminggu khusus untuk memandu Kami berkeliling Malaysia menengok serama,” ucapnya sambil menunjuk ke arah sedan Protonnya. Di dalam kereta sebutan mobil di Malaysia tergantung beberapa potong pakaian dan koper tergeletak di bagasi. Itu adalah bukti keseriusan Abert ingin menginformasikan selengkap-lengkapnya seluk-beluk serama. Maklum di tanah air ayam liliput itu tengah naik daun.

Segera bangkit

Berbicara serama tak bisa lepas dari Kualalumpur, Pulau Penang, Kedah, dan Kelantan. Sebab di daerah-daerah itulah ayam ciptaan Wee Yean Een berkembang. Makanya perburuan informasi diawali ke Pulau Penang yang berjarak 400 km dari Kualalumpur. Dipacu dengan kecepatan rata-rata 110 km per jam, kota yang dulu terkenal dengan lou han-nya itu dicapai dalam waktu 4,5 jam. Sepanjang jalan Albert menceritakan asal-usul dan perkembangan serama. “Awal 2004 serama di Malaysia bangkit lagi,” tuturnya. Itu terjadi setelah tren lou han yang sempat memporak-porandakan kepopuleran serama berlalu. Menurut Albert sejak diperkenalkan pada 1990 serama langsung mendapat tempat di hati para penggemar unggas. Sejalan bergulirnya waktu penggemarnya terus meningkat, hingga ayam terkecil di dunia itu menjadi satwa klangenan nomor satu. Hampir di setiap rumah di seluruh pelosok Malaysia ada, entah dipajang di kandang maupun diumbar untuk menghias halaman. Kontes pun berlangsung setiap minggu di berbagai daerah. Sayang, ketika berada di puncak kepopuleran pada 2002 datang lou han yang menghempaskan semuanya. Para hobiis dan peternak tergoda untuk berbisnis lou han sehingga banyak di antaranya yang meninggalkan serama. Tren ayam setinggi 20 sampai 25 cm itu pun menurun drastis. Wajar kala Kami berkunjung sulit menemukan serama berkeliaran atau dijajakan di pasar-pasar hewan, misalnya. Paling hanya beberapa rumah masih terlihat menyimpan ayam berdada membusung itu. “Tak lama lagi masa kejayaan serama akan pulih. Sebab, ayam itu kini tidak hanya digandrungi di dalam negeri, tapi oleh masyarakat mancanegara,” tutur pria berkacamata itu. Albert menyebut, sejak Januari 2004 permintaan dari Amerika Serikat, Inggris, Kanada, dan Kuwait terus mengalir. Itu belum termasuk Indonesia dan Thailand. Negeri Gajah Putih itu sejak 2001 rutin menyelenggarakan kontes serama pada Hari Raja.

Murni Karena Hobi

Peternak di Penang yang disinggahi adalah Teh Leong Toh Sekalipun berada di tengah kota, tapi di sekitar lokasi farm tumbuh rerumputan dan tanaman-tanaman liar. Pohon ki hujan seukuran perut kerbau menaungi kadang-kandang. Di atas tanah seluas 6.000 m2 itulah sekitar 100 serama berbagai ukuran dipelihara Chooi, panggilan akrab Teh Liong Toh. “Farm dibangun sekitar 1999 dengan modal awal RM 100.000 (setara Rp250-juta, red),” tutur Chooi. Lelaki kelahiran 1952 itu bertutur, membangun farm tidak semata untuk mencari uang, tapi hobi. Makanya ia selalu memburu indukan-indukan berdarah juara. Sebut saja keturunan Sri Penang sampai serama legendaris peraih 16 kali kontes sampai langsung dicomotnya meski berharga mahal pada waktu itu, Rp12.500.000/ekor. Tak ketinggalan indukan-indukan berkualitas lain dari Wee Yean Ean di Kelantan diborong. Dengan ketja keras pantang menyerah, ketekunan merawat dan memasang-masangkan indukan, lahirlah serama-serama istimewa dari tangan Chooi. Setiap bulan lelaki yang hobi satwa dan ikan itu mengeluarkan 10 sampai 20 serama kualitas super A dan 10 sampai 20 ekor kualitas A. Kualitas A berbobot 250 sampai 300 g, dengan tinggi 22,5 sampai 25 cm. Disebut super jika sosoknya sempurna, antara lain dada membusung, jengger rapi, dan lawi panjang. Ia menjual seramanya antara Rp4-juta sampai Rp20-juta per ekor. Kami melihat, anakan-anakan serama berumur 3 minggu sampai 1 bulan yang tengah diasuh induknya memang sudah menunjukkan kelasnya. Masih kecil, tapi dada membusung. Demikian yang berumur 2 sampai 6 bulan tampak sempurna. Peternak lain masih angin-anginan, kadang ada, kadang tak ada,” timpal Albert. Itulah sebabnya Albert yang acap kali mendapat order dari mancanegara bekerjasama dengan Chooi untuk pasokan serama berkualitas. Di Penang ada sekitar 4 peternak sebesar Cooi. Namun, sebagaimana Chooi mereka juga tidak mumi bisnis, melainkan hobi yang dikembangkan kearah setengah bisnis. Buktinya Chooi akan sangat sedih bila ayam-ayam koleksinya diminati orang.

Harga Jual Yang tinggi

Hanya bertandang ke 2 peternakan di Penang, Kami melanjutkan peijalanan ke Kedah keesokan harinya. Ditempuh selama 1 jam dengan kendaraan pribadi lewat jalan bebas hambatan, sampailah ke hobiis sekaligus juri kenamaan serama, Khor Ah Peng. Pria 42 tahun yang tinggal di perumahan Taman Bersatu, Simpang Empat, Kedah, itu memiliki serama-serama kualitas kontes. Sekarang total dengan betina cuma 10 ekor,” ucapnya. Menurut Peng ketika serama sedang tren pada tahun ini, kontes berlangsung setiap minggu dengan peserta 700 sampai 800 ekor. Lalu pada 2002 sampai 2003 frekuensi kontes sebulan sekali dan hanya diikuti sekitar 200-an ekor. Kini para hobiis tengah giat lagi menemakan dan merawat serama-serama yang “tersisa”. Umumnya hobiis di Kedah memelihara serama di depan rumah di kandang-kandang besi berukuran 2 m x 2 m. “Tidak ada yang beternak untuk tujuan komersial. Kalau butuh mereka saling mengontak sesama hobiis,” papar Peng. Menurut Peng kendati tidak serius diternak, sebagai pendapatan sampingan serama cukup menjanjikan. Sebab, harga jual serama siap kontes, umur di atas 10 bulan minimal Rp5-juta. Anakannya juga umur 1 bulan rata-rata Rp1-juta/ekor.

Ayam Serama Hat Yai

Setelah puas melihat-lihat serama di Kedah, termasuk menemui hakim agung Datok Haji Ghazali yang penghobi berat serama, Albert Tan segera tancap gas mobilnya. “Kita akan bertolak ke Hat Yai,” ucapnya. Dalam perjalanan itu, Chooi yang jago bahasa Thailand ikut bergabung. Tak sampai 2 jam setelah melewati perbatasan Malaysia Thailand tampak kios penyedia serama di dekat hotel kami menginap. Namun, karena toko hampir tutup kami memutuskan untuk menyatroninya besok pagi. Surachai Suwapanichphan, sang pemilik toko, mengaku sudah 10 tahun berjualan serama. Pembelinya dari seputar Provinsi Songkhla, Thailand Selatan. Kini setiap bulan rata-rata 20 serama berbagai kualitas terjual. Harganya mulai dari Rp 100-ribu sampai Rp 10-juta/ekor. Menurut Surachai kios penyedia serama di Hat Yai hanya 1 sampai 2 buah saja, karena umumnya hobiis langsung membeli dari peternak. Siang sudah menjelang sehingga kami pun pamit dari hadapan Surachai untuk menengok para hobiis serama di Thailand Selatan. Agak sulit menemui mereka karena umumnya kandang-kandang serama di Hat Yai di tempatkan di belakang atau samping rumah. Apalagi hari kerja, dari beberapa alamat yang dikantongi Kami hanya bisa menemui Baneha Kong In, di Jalan Tongsauh. Total serama yang dipunyai pengacara itu sekitar 20 ekor, di antaranya 8 indukan. “Sebagian saya bagikan ke teman-teman,” tuturnya. Seminggu sudah Kami keluar-masuk peternakan serama. Banyak informasi yang didapat, mulai dari cara menilai serama bagus hingga perawatan sehari-hari dan menjelang kontes ayam serama. Tak salah kalau Dian Adijaya berujar, “Kita bisa jadi ahlinya serama di Indonesia.” Sayang, Kelantan terlewatkan lantaran akses menuju ke kampungnya pencipta serama, Wee Yean Ean, tengah dilanda konflik. Kekecewaan itu kami tutupi di Kualalumpur yang peminat seramanya tidak kalah dibanding Pulau Penang atau Kedah.