Wave Gelombang Ke Empat Anthurium gelombang cinta

  • 8 min read

Rezeki nomplok itu datang tak sengaja waktu Lukman berkeliling di arena pameran tanaman hias Flora dan Fauna di Lapangan Banteng, Jakarta Pusat. Di salah satu stan, ayah 4 anak itu berjumpa seorang pemain tanaman hias. Kenalan baru itu bercerita tengah kekurangan biji anthurium gelombang cinta untuk memenuhi permintaan pasar. Pucuk dicinta, ulam pun tiba. Ada 285 biji matang berwarna merah dari wave of love koleksi Lukman. Pria berkacamata itu berjanji datang lagi pada 23 Agustus membawa biji-biji matang. Waktu bertemu sesuai janji, “Saya diajari membuka lapisan daging dan kulit tipis yang menyelimuti biji,” tutur Lukman. Dari 285 buah didapat 520 biji yang langsung diganjar Rp5.000 per biji. Peristiwa itu membuat Lukman ketagihan. Selama 3 hari: 29 sampai 31 Agustus 2007, ia menyemai 928 biji. Dalam seminggu bibit berkecambah yang langsung dibeli kenalan di Lapangan Banteng tadi. Berarti ada tambahan pemasukan Rp9,28-juta. Aliran rupiah dari anthurium gelombang cinta koleksi belum berhenti. Awal September, ada 1 induk dengan 1 spadik siap panen, 1 spadik setengah matang, dan 1 spadik yang baru muncul. Lagi-lagi kenalan baru tadi kepincut untuk membeli. Namun, Lukman enggan melepas koleksi. Akhirnya diperoleh kata sepakat, “Induk disewa dengan harga Rp20-juta untuk 4 bulan,” tuturnya sumringah.

Rezeki Dari anthurium gelombang cinta

Senyum pun terkembang di bibir Riana Suma Putri. Baru Juli 2007, mantan karyawan sebuah bank itu membeli sepot wave of love di pot berdiameter 20 cm seharga Rp45.000 untuk koleksi. Berawal dari sana, pekebun anggrek itu mendulang pendapatan Rp146,25-juta selama Juli sampai Agustus 2007. Itu hasil penjualan 1.350 bibit di pot 15 cm seharga Rp25.000 per pot dan 150 tanaman remaja seharga Rp750.000 per pot. Penelusuran Kami ke berbagai daerah, bisnis Anthurium plowmanii alias anthurium gelombang cinta memang tengah menjulang. Di Solo, Angelina Sri Yulianti mendulang puluhan juta rupiah dari 14 hari pameran. Pada perhelatan di awal Agustus 2007 itu, 2.500 bibit 9 daun ludes dari stannya. Dengan harga jual Rp 15.000 per bibit, berarti omzet pemilik nurseri Anugerah Lestari itu Rp37,5-juta. Padahal di akhir pameran, harga melambung Rp50.000 sampai Rp65.000 per pot. Pilihan Yuli terjun ke bisnis wave of love sementara mengumpulkan jenmanii pada awal 2006 ternyata tepat. Cerita manis serupa dirasakan Iwan Hendrayanta, Bambang Sugiono, Suhandono, dan Tumin Teguh di Jakarta; Andi Wijaya dan Supeno Rahman (Tangerang); Eko Hadi Nuryono (Pati); Suyamto dan Sutarno (Karanganyar); Dedy Fachrudin (Solo); Ginting Sri Kusmayadi (Sukoharjo); H Sutrisno dan Puji Hartutiningsih (Sragen); Aries Andi, Agung Budi Santoso, dan Antok (Yogyakarta); serta Agus Wasana (Kediri). Nurseri penyedia dan penjual wave of love pun bermunculan di berbagai daerah. Selama 2 bulan terakhir, setiap 2 minggu 1 truk setara 25 tanaman indukan datang ke Pati dari Jakarta. Semua langsung ludes dibeli pedagang di sana. Dari perniagaan gelombang cinta itu, Eko Hadi Nuryono, mengantongi omzet Rp240-juta. Pada ajang pameran di Sri Ratu, Semarang, 3 stan di kiri-kanan nurseri Mystica tak pernah putus disambangi pengunjung. “Semua bertanya gelombang cinta,” kata empunya Mystica. Ir Sugiono Budhiprawira, pemain anthurium kawakan di Bogor menyebut fenomena itu sebagai “virus wave of love.” Lebih terjangkau Bukan tanpa alasan bila kini gelomba cinta naik daun. “Harga jenmanii yang lebih dulu populer sudah tidak masuk akal sehingga tidak terbeli banyak orang, terutama pemula. Wave of love lebih terjangkau,” tutur Iwan Hendrayanta, ketua Perhimpunan Florikultura Indonesia. Sekadar membandingkan, saat Nesia Artdiyasa, wartawan Trubus, meliput ke Karanganyar pada pertengahan September 2007, biji lenmanii Rp200.000; wave of love Rp20.000. Bibit jenmanii dengan 2 daun Rp200.000 sampai Rp500.000; g elombang cinta, Rp25.000 sampai Rp35.000 per pot. Pascajenmanii, hookeri sempat mencuat.Namun, pamornya tidak semencorong gelombang cinta. Diduga munculnya hookeri impor yang dijual tanpa perlakuan kondisinya jadi tidak prima membuat bisnis anggota famili Araceae itu mandek. Masuknya pemodal besar penyebab pasar bergerak. “Ada perusahaan rokok besar yang banyak mengambil indukan-indukan wave of love,” kata Dedy Fachrudin. Pemilik nurseri Mekar Jaya di Solo itu tahu pasti sebagian indukan berasal dari nurserinya. Dugaan lain, pamor gelombang cinta naik. antaran permainan para spekulan. Pergerakan harga wave of love diatur di balik layar oleh pemodal kuat. Si pemodal memborong anthurium gelombang cinta dalam jumlah besar sehingga rerjadi kekosongan barang di pasar. Akibatnya, harga tinggi. Dugaan permainan spekulan muncul antaran harga melambung mendadak. Iwan Hendrayanta mencatat, pada 14 Agustus 2007 harga biji di Jakarta hanya Rp2.000; 20 Agustus Rp5.000); 31 Agustus (Rp 10.000); 9 September Rp15.000); 14 September (Rp17.500); dan 21 September (Rp23.000). Pada awal Agustus 2007, induk wave of love dengan 8 spadik Rp15-juta. Selang beberapa jam, naik jadi Rp25-juta. Para pemain sepakat, pertengahan Agustus awal lonjakan bisnis gelombang cinta.

Gelombang cantik

Lepas dari kontroversi itu, gelombang cinta layak diburu. Buat pemula, membeli indukan wave of love menguntungkan. Musababnya, ia lebih produktif. Munir, pemain di Ragunan, Jakarta Selatan, menghitung dalam 1 tongkol 40 cm minimal terdapat 5.000 biji; jenmanii 2.000 sampai 2.500 biji. Bila punya 2 tongkol berarti potensi produksi 10.000 biji, harganya Rp25-juta. Misal biji disemai selama 3 bulan menjadi bibit 2 daun. Tingkat kegagalan 30%, populasi hidup 7.000 bibit Dengan harga Rp 10.000 per bibit, omzet didapat Rp70-juta. Berarti keuntungan Rp45-juta. Buat sebagian orang, wave of love adalah salah satu anthurium terbaik. “Penampilannya lebih cantik, perawatan mudah, dan harga murah,” tutur Ginting Sri Kusmayadi di Sukoharjo. Menurut Angelina Sri Yulianti, gelombang cinta pas ditanam di daerah bersuhu panas, misal Solo. Jenmanii, di dataran tinggi. Spadik dan anthurium gelombang cinta gampang jadi. Dari hasil silangan didapat varian-varian baru. Sebut saja brazil berdaun lebar tapi berombak sedikit; ambassador, daun bergelombang kecil-kecil dengan ujung mlintir seperti bor; atau giant berdaun lebar dengan gelombang pendek dan tersusun rapi. [![](/images/Tanaman Hias-gelombang-cinta-1024x576.jpg)](http://localhost/mitra/wp-content/uploads/2020/12/Tanaman Hias-gelombang-cinta.jpg)

Permintaan luar

Meski para pemain sepakat Agustus titik awal gebrakan wave of love, toh kecenderungan itu sudah terasa sejak setahun silam berbarengan mencorongnya bisnis anthurium secara umum. Saat itu Tumin Teguh sanggup memasarkan 40.000 tanaman setinggi 15 sampai 20 cm dalam waktu 2 bulan. Dengan harga anthurium gelombang cinta Rp7.500 per tanaman, pria asal Sragen itu meraup pendapatan Rp300-juta. Kini, bola saljunya kian menggelinding. Sekadar menyebut contoh, total transaksi di nurseri Toekangkebun sejak 12 Agustus sampai 1 September 2007 mencapai Rp315-juta. Itu berasal dari penjualan bibit (90%) dan induk (10%). Saking derasnya penjualan gelombang cinta, “Sekitar 95% omzet dalam sebulan terakhir murni dari wave of love,” ujar Andi Wijaya. Dalam ajang pameran di Kediri pada 1 sampai 9 September 2007, Agus Wasana menjual 2.000 bibit3daun.DenganhargaRp20.000 sampai Rp35.000 per bibit pergerakan selama pameran berarti omzetnya Rp40-juta sampai Rp70-juta. Selama sebulan, H auw Lie, pemain senior di Karanganyar, melepas 261 induk Rp20-juta sampai Rp35- juta. Akibatnya harga indukan anthurium gelombang cinta bertongkol ini pabrik uang pekebun menjulang. Transaksi tertinggi yang Trubus lacak ialah penjualan indukan seharga Rp240- juta di pameran Flora dan Fauna, Lapangan Banteng, Jakarta Pusat. Di sentra [tanaman hias](http://localhost/mitra/Tanaman Hias “tanaman hias”) di Jakarta Barat, 25 pot wave of love dengan 2 sampai 3 tongkol diborong pembeli asal Solo senilai Rp750-juta. Pasarnya semula berkutat di Jawa. Belakangan muncul permintaan dari luar pulau. Permintaan dari Lampung, Bali, dan Kalimantan Timur masuk ke telepon Dedy Fachrudin. Sementara Ginting Sri Kusmayadi (Sukoharjo), Makassar, dan Batam. Sebagian besar, 60 sampai 90% adalah pedagang. “Kalaupun ada kolektor, pada akhirnya untuk dijual juga,” tutur seorang pemain senior.

Pasar anthurium corong semakin semu?

Toh, posisi wave of love yang tengah di atas angin bukan tanpa hambatan. Banyak pemain senior menyangsikan pasar sejatinya. Tanaman hanya indukan bertongkol, biji, dan bibit mesti diwaspadai. Gregori Garnadi Hambali, pemain senior tanaman hias di Bogor, menyebutnya ciri pasar semu Pemain yang sebagian besar pedagang jadi ciri lain. “Ini seperti tangga berputar. Harga terus naik tapi berputar antarpedagang. Seorang penjual bisa membeli lagi barangnya karena kehabisan stok,” kata Agus Gembong Kartiko, pemain tanaman hias di Batu. Titik kulminasi pembeli akhir tak ada yang tahu. Tanpa perhitungan matang, pemain baru bisa merugi besar. Banyak orang kaya mendadak karena anthurium. Tapi banyak juga orang yang miskin mendadak karena setelah berinvestasi tidak bisa menjual," lanjut Gembong. Berita ada permintaan dari luar negeri perlu dikritisi. “Di Jawa Tengah santer terdengar wave of love diminta Abu Dhabi, Uni Emirat Arab. Tapi apakah itu benar? Dari segi iklimnya saja sudah berbeda,” kata Sugiono mengingatkan. Kalaupun iklim di negara tujuan cocok, harga di tanahair tidak rasional. “Lebih ekonomis kalau mereka mengimpor anthurium gelombang cinta dari negara yang sudah memproduksi massal,” imbuh kolektor sejak 1980-an itu. Para pemain senior memprediksi, tren gelombang cinta hanya bertahan dalam hitungan bulan. Pada Desember 2007 diperkirakan pekebun dan pedagang yang membeli biji, bibit, dan induk bertongkol panen sehingga pasar banjir. Prediksi umur pendek pun berdasarkan pengalaman setahun silam. Sutarno di Karanganyar ingat, tahun silam harga biji sempat naik hingga Rp2.500. Namun, dalam hitungan hari turun menjadi Rp1 ,500/biji. Indikasinya mulai terlihat. Menurut pengamatan Sutarno harga bibit anthurium gelombang cinta yang baru mentis Rp25.000 pada 11 September 2007. Empat hari berselang turun jadi Rp22.000. Sehari kemudian hingga tinggal Rp 15.000.

Jenmanii ajek

Pijakan lain, dengan produktivitas tinggi, jumlah barang di pasar cepat berlimpah sehingga pasar lebih cepat jenuh. Ini berisiko buat pemodal pembeli indukan. Begitu hasil semaian siap dilepas, harga telanjur melorot. Makanya buat pemula, Antok menyarankan untuk bermain di kelas seedling yang langsung dilepas kembali ke pembeli berikut. Dengan begitu risiko kerugian minimal. Toh, pemain lain tetap optimis. Penurunan harga tak bakal di bawah Rp5.000 sampai harga sebelum tren. Pengembangan pasar ke luar pulau, memperpanjang umur tren. Persentase anakan istimewa hanya 10% membuat pasar tak cepat jenuh pasokan barang. Setelah anthurium gelombang cinta, corong mulai mengintai. Dari nurseri Kaliurang Garden Center dalam sebulan terakhir terhitung peliputan pada pertengahan September keluar 10.000 bibit. Di Tangerang, setiap kali Supeno Rahman membongkar muatan corong dari Thailand langsung diangkut pelanggan. Di belakang corong, bintang kejora dan jenis-jenis lain menunggu giliran. Menjulangnya pamor anthurium gelombang cinta bukan berarti pemasaran jenmanii mandek. “Segmen pasar anthurium terbagi 2 kelas. Kelas atas bermain di jenmanii, sementara kelas menengah ke bawah jenis lain,” kata Joe Kok Siong. Penjualan di nurseri milik Didik Setiawan di Karanganyar masih didominasi jenmanii. Harganya pun ajek mahal. Laba jenmanii pula yang membuat Sutarno dan Suyamto pengojek dan pengusaha gipsum sanggup membeli mobil, ternak sapi, tanah, dan rumah. “Seperti kata Jayabaya, suatu saat muncul zaman edan di mana orang beli rumah, mobil, dan lain-lain pakai daun. Ya seperti sekarang ini ketika anthurium ngetren” seloroh Bambang Sugiono.